Gerakan Perempuan dan Gender Masa Kini

Berbicara gerakan masyarakat pasti akan terlintas, “sangat berbau politik-praktis”. Memang tidak salah, sih, cuman tidak sepenuhnya benar karena “gerakan masyarakat” dapat menjadi alat pendidikan politik bagi masyarakat itu sendiri. Gerakan masyarakat ada berbagai macam, mulai dari gerakan yang fokus isu lingkungan, pendidikan, perburuhan, perempuan dan gender, dan masih banyak lainnya.

Nah, salah satu gerakan yang dibahas dalam tulisan ini adalah perempuan dan gender. Sebagai gerakan yang cukup dikenal oleh masyarakat, isu perempuan dan gender selalu menarik diulas. Tujannya agar tercipta kondisi sosial yang setara dan adil bagi siapa pun. Melalui wawancara sana-sini, buka buku ini-itu, debat fafifu, dan segala hal demi terciptanya tulisan ini, maka silakan disimak!

Menengok Gerakan Gender Masa Kini

Pandangan buruk kerap menimpa aktipis-aktipis perempuan dan orang-orang yang memperjuangankan adanya kesetaraan gender. Ada yang manganggap mereka galak sampai minta jatah kuasa. Ironi. Tidak ada yang ingin hidup sebagai manusia kelas kedua, subordinasi, bayang-bayang, atau kata pengganti lainnya yang menunjukan ketidakadilan gender di muka bumi ini.

Indonesia sendiri sempat memiliki gerakan perempuan yang besar bernama Gerwani. Ya, sejak peristiwa polemik tahun 1965, genosida terhadap masyarakat sipil, dan naiknya Suharto ke tampuk kekuasaan, Gerwani dipadamkan. Namun, setelah Suharto tumbang, benih-benih gerakan perempuan dan gender mulai kembali tumbuh hingga saat ini.

Women’s March (WM) sebagai  salah satu gerakan perempuan dan gender masa kini di Indonesia turut berupaya menciptakan dunia yang adil. Lahir dari gerakan di Amerika Serikat, WM kerap mengadakan acara dengan selara kekiniannya anak muda, seperti workshop membuat poster, pembalut perempuan, dan lain-lain.

Meski WM lahir di Amerika Serikat, untuk di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, tetap menyesuaikan setiap kondisi geografis, “Awal di Indonesia itu di Jakarta. Kemudian muncul di kota-kota lain tahun 2018 yang menyesuaikan permasalahan setiap kota. Kenapa? Misal, permasalahan di Jakarta gak mungkin sama kayak di Jogja dong,” ujar Hafiza Dina atau biasa dipanggil Pepo selaku Ketua Koordinator WM Yogyakarta pada (23/04/2021).

Helena Winih, Wakil Koordinator Eksternal WM Yogyakarta, mengatakan cara kerja gerakan ini seperti kepanitian, “Di sini (WM) bukan organisasi, tapi sebatas kelompok belajar bareng melalui acara yang dirangkai secara bersama. Jadi, gak terlalu kaku,” dia juga mengungkapkan, “… orang-orang yang mau terlibat di WM biasanya bakal liat undangan di media sosial. Dari situ kami membuka agar orang-orang terlibat dan memilih bidang apa yang digemari tanpa pemaksaan.”

Serupa WM, gerakan perempuan dan gender dengan nama Lavender Study Club (LSC) juga berbentuk kelompok. Menurut salah satu anggota LSC, Clara (bukan nama sebenarnya) pada (27/04/2021), kelompok ini memiliki tujuan melakukan propaganda isu perempuan dan gender. Mereka juga kerap membuka stand propaganda di acara-acara Universitas Gajah Mada (UGM) sekalian membagikan brosur tentang isu kesetaraan gender.

“Karena ini kelompok jadi orang-orangnya sangat beragam. Kawan-kawan yang terlibat hanya sebatas tertarik dengan isu gender. Jadi agak berbeda ya sama organisasi yang satu ideologis. Di sini, ya, ada berbagai macam ideologi,” ujar Clara.

Berbeda dengan WM dan LSC, Serikat Pembebasan Perempuan (Siempre) berbentuk organisasi. Sebagai gerakan perempuan dan gender, organisasi ini tergabung dalam sel kerja Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI). Organisasi ini tidak hanya membicarakan persoalan perempuan dan gender, tetapi sampai tahap ekonomi-politik yang membedah makin runyamnya diskriminasi gender.

“Siempre juga fokus dalam isu kolonialisasi yang dilakukan Indonesia terhadap bangsa West Papua. … Kita lihat organ perempuan berbicara tentang persoalan budaya patriarki, tetapi kalo di siempre sendiri harus melihat garis ideologi politiknya,” jelas Julia Opki (25/04/2021)..

Tantangan yang dihadapai

Meski cara mengartikan bentuk perlawanan yang berbeda, kerja sama WM, LSC, Siempre, dan organisasi-kelompok gender lain terjalin dalam aliansi bernama International Women’s Day (IWD) di Yogyakarta. Namun, di aliansi itu terdapat pertarungan wacana yang mungkin aja nih lumrah terjadi mengingat terbukanya aliansi bagi segala kalangan.

“Dilihat organisasi-organisasi gender yang lain bukan membicarakan persoalan kelas, tapi hanya patriarki. Di luar IWD juga ada beberapa diskusi dari teman-teman di luar organ gerakan kiri, ketika berbicara persoalan perempuan dan gender melalui ideologi marxis malah terdengar maskulin. Jadi anggapannya bahwa Siempre mengesampingkan persoalan perempuan dan lebih membicarakan isu lain, padahal, ya enggak,” ungkap Julia.

Seringkali pertarungan wacana menjadi penyebab pecahnya sebuah gerakan, “Semacam ada dua kubu. Ada kubu kiri dan kanan. Ya, begitu deh. Lagian, pertarungan wacana bakal terus ada, itu sah-sah aja. Dialektis. Cuma harus diimbangi dengan sikap yang dewasa. Ya, kuncinya jangan baper dan ikuti kesepakatan forum,” kata Winih.

Selain pertarungan wacana yang perlu ditanggapi serius, ketiga gerakan perempuan dan gender ini memiliki permasalahan internal yang serupa, yakni, persoalan anggota. Mereka sulit menjalin komunikasi yang baik antar anggota, apalagi di masa pandemi saat ini. Namun, dari semua yang mempermasalahakan persoalan komunikasi antar anggota, WM menemukan titik terang, “Kami gabisa mempertahankan orang karena di sini (WM) orang-orang itu relawan. Paling kami menyediakan tempat yang nyaman bagi orang-orang itu. Jadi, kami tidak ada penekanan kontrak harus tetap di WM atau bagaimana. Kami tidak bisa memaksa mereka. Mereka juga ada kesibukan lain seperti kuliah yang kadang diprioritaskan,” jelas Pepo.

Gerakan perempuan dan gender turut mendapat tantangan agar diterima masyarakat secara luas. Baik WM, LSC, dan Siempre sama-sama menemukan kendala itu. Berbagai cara dilakukan oleh mereka. Salah satu cara itu diungkapkan Winih bahwa WM pernah mengadakan diskusi bersama Pekerja Seks (PS) dengan penjagaan super ketat. Tujuannya agar tercipta suasana aman dari serangan kelompok reaksioner.

Narasi serupa juga diungkapkan oleh Clara ketika berhadapan kelompok reaksioner, “Kita harus face to face dengan itu (kelompok reaksioner), yang menjadi kaki tangan penguasa. Sama misalnya kalo ada diskusi LGBT pasti ada kepolisian yang menganggap diskusi ini terlarang dan lain-lain. Sama juga kayak isu PKI, isu komunis, itu juga didatangin polisi dan lain-lain. Kalo aku sih malah menjadikan tantangan gerakan perempuan bagaimana menghadapi itu. Apakah tetap ingin terus-terusan loby? Atau membuat gerakan tandingan agar menyatakan bahwa kita ada, kita eksis, kita percaya akan kekuatan kita sendiri!”

Gerakan gender menurut pakar

Setelah melihat gerakan perempuan dan gender serta masalah-masalah yang kerap dihadapi, menurut Linda Sudiono, akademisi Universitas Atma Jaya yang memiliki fokus kajian feminisme (5/5/2021), banyak tanggapan dari masyarakat perlu dijawab oleh gerakan perempuan dan gender itu sendiri.

Menurut Linda, ketika masyarakat tidak menganggap persoalan yang dihadapi oleh perempuan karena penindasan struktural, akhirnya itu berpengaruh bagi gerakan demokrasi secara umum. Maka, gerakan perempuan dan gender harus menjawabnya, “(Jangan) memandang bahwa isu perempuan adalah isu di luar isu-isu demokrasi yang sedang diperjuangkan. Saya pikir aneh ya. Di satu sisi berbicara persoalan demokrasi, tetapi di sisi lain kurang organisir (masyarakat) dan tuntutan seperti upah layak, harga sembako, dan lain-lain (masih minim dibahas),” kata Linda.

“Jadi kalo masyarakat mengira gerakan perempuan adalah suatu hal yang asing, ya wajar. (Gerakan) tidak pernah masuk ke dalam situ. Bahkan ada (masyarakat) yang menganggap itu hanya perempuan minta jatah parlemen, perkembangan sosial, dan lain sebagainya. Maka saya pikir seperti itu. Jadi jangan hanya menjadikan mereka (masyarakat) sekedar sasaran program (jangka pendek), tetapi memang dilakukan pengorganisiran terhadap golongan-golongan akar rumput secara rutin,” jelas Linda.

Selain itu, negara juga memiliki pengaruh besar bagi pelemahan gerakan perempuan dan gender. Melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara, “dari situ mencerminkan arah politik atau orientasi politik pemerintah. Apakah berpihak kepada masyarakat, (khususnya) perempuan,“ ujar Linda, “Sangat sederhana saja, dalam hal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) itu tidak kunjung disahkan dan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT) tidak kunjung dibahas bahkan bertahun-tahun,” tambahnya.

Reporter: Max Rooyackers dan Vincentius Dandy

Penulis: Vincentius Dandy

Editor: Angella Devy

Ilustrasi oleh : Fitri DK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.