Progo dan Derita Perempuan dalam Lingkar Tambang

Eskavator yang gencar mengeruk pasir pada siang hari di Desa Wiyu (Silvester Putra/Natas)

Saat matahari mulai berwarna kulit jeruk matang, beberapa pekerja tambang tertangkap basah di bibir Sungai Progo. Mereka tertangkap dengan wajah bersimbah keringat akibat mengeruk pasir yang basah dengan alat berat berlengan baja. Bersama kumpulan warga yang siap dengan beribu pertanyaan, dibawanya pekerja-pekerja tersebut ke sebuah rumah untuk dimintai jawaban. Seorang perempuan paruh baya berjalan setapak demi setapak dari belakang mengikuti ke mana arus dari para warga bermuara. Tanpa disadari, saat itu hanya ialah satu-satunya perempuan yang memergoki para pekerja tambang itu bekerja. Membuat dirinya hadir pada petaka. 

Sepucuk surat sampai di rumahnya dengan selamat. Kertas bertuliskan “Surat Panggilan” hadir di tangannya yang kerut sehabis pulang berladang. Dengan air muka yang buncah, ia membacanya dengan perlahan. Diketahui dari mana selembar kertas itu berasal, Polres Sleman, yang turut memintanya untuk memenuhi panggilan. Tiada disangka melalui surat tersebut, dirinya seolah akan berganti posisi dengan pekerja tambang yang ia pergoki. Hanya saja pelaku yang siap menghujaninya dengan pertanyaan adalah seorang aparat. Tegaklah sudah seluruh rambut yang ada di tangan saat membayangkan apa yang akan menimpanya. 

Bertempat di Jalan Magelang KM 12,5, Krapyak, Triharjo, Sleman, perempuan paruh baya itu menghadap. Ia diminta hadir sebagai saksi dalam perkara tindak pidana mengganggu kegiatan usaha penambangan. Walau dilanda rasa cemas, ia tahu tidak sendiri. Surat istimewa juga datang tepat di depan pintu dari delapan belas warga Jomboran lainnya. Hanya saja Parinem, perempuan paruh baya itu menempati urutan kedua dalam proses pemanggilan yang dinilai menghalang-halangi aktivitas penambangan di Sungai Progo. 

 “Dulunya juga takut, tapi setelah menghadapi Polisi ya nggak takut”, kata Parinem menguatkan diri sendiri.

Ia memang semakin terbiasa berhadapan dengan aparat. Terlebih semenjak dirinya aktif menentang kegiatan tambang yang ada di pekarangan rumahnya. Lutut yang semula bergetar sekarang menjadi kukuh. Caping yang semula menutupi sebagian besar kepalanya sekarang ditambah pula dengan payung hitam. Tangan yang semula hanya menggenggam gabah juga memegang bendera bergambarkan tangan yang mencengkram alat berat bertuliskan Paguyuban Masyarakat Kali Progo. 

Bukan hanya itu, Parinem juga membantu menyediakan pangan. Ia memasak bagi para warga yang ikut aksi penolakan tambang pasir. Usaha yang ia berikan ini tak semata-mata hanya sebatas keinginan. Tekadnya untuk melawan hadir setelah menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana hidupnya mulai terdampak setelah adanya aktivitas alat berat pengeruk pasir di Sungai Progo.

Salah satu dampaknya terjadi pada padi yang ia tanam. Kurangnya air membuat padinya sulit panen. Membuat perut keluarganya mengencangkan ikat pinggang guna mengurangi sedikit rasa lapar. 

Padahal sebelum adanya tambang, hasil dari garapannya saja hanya sepuluh karung gabah. Jika sudah menjadi beras, maka menghasilkan tiga buah karung. Ketersediannya hanya lima bulan pascapanen. Parinem beserta keluarga mesti tawakal hingga waktu panen tiba kembali.

Tak Sendiri

Bagian barat dari Sungai Progo terjadi petaka serupa. Seorang ibu rumah tangga sekaligus penggerak dari komunitas perempuan tolak tambang sempat mengalami kekurangan air bersih. Ini menuntunnya bekerja sama dengan warga lain. Mereka mendalamkan sumur guna mendapat air yang layak konsumsi. 

Ia sudah memantapkan hati. Mencari solusi dari permasalahan yang bahkan bukan menjadi bagian tanggung jawabnya untuk diselesaikan. Dengan wajah yang penasaran, ia longokkan kepala ke arah pangkal sumur untuk melihat kedalamannya. Dilihat dengan awas, ia menemukan bahwa permukaan air sudah tak tampak oleh mata. Hanya gelapnya lubang sebesar tiga pinggul orang dewasa yang terpantul sedikit cahaya dari atas. 

”tepat sudah untuk memperdalam sumur,” batinnya.

Suara riak air mengisi setiap gendang telinga warga Wiyu pagi itu. Air mulai naik melalui pipa-pipa berwarna biru yang terpasang memanjang dan mulai membasahi jalanan beraspal yang kering. 

Diiringi dengan puluhan peluh yang keluar dari ketiak, warga mulai mengamati air yang ada di depan matanya. Airnya keruh. Ada bau besi yang mengisi udara mereka. Mereka tahu pasti, bukan air seperti ini yang diharapkan. 

“Padahal dulu ibarat kata kita nimba aja ya langsung minum tuh airnya seger banget, sekarang nggak bisa.” keluh wanita tersebut.

Dengan wajah yang tak kalah keruh, perempuan tersebut kembali ke rumahnya. Sekarang yang ada di benaknya, untuk sekadar minum, air yang diperoleh harus dimasak dengan benar. 

Memasak air tidak hanya untuk mematikan segala jenis mikroba yang terkandung didalamnya, tetapi  juga untuk mengendapkan segala bentuk partikel yang membuatnya menjadi keruh. Upaya itu supaya air layak digunakan. Walau begitu, bukan berarti menutup sebuah tanya tentang apakah air yang ia masak telah layak konsumsi. 

Perempuan yang bertanya karena aktivitasnya sendiri itu adalah Yuliana. Ia seorang ibu beranak dua. Salah satu anaknya juga mengeluh suara bising karena aktivitas alat berat di sungai. Terlebih pada beberapa tahun belakang, kala dunia masih marak dengan hadirnya sebuah virus yang hampir menenggelamkan seluruh aktivitas, termasuk kegiatan belajar mengajar di sekolah. 

Anak sulungnya mengaku sulit untuk menyerap pengetahuan yang ia dapatkan dari sekolah daringnya itu. Seolah suara dari guru yang mengajar, diiringi lantunan lagu dari pasir yang bertemu besi baja. 

“Bulan-bulan kalau kemarau itu kan anak-anak masih sekolah. Ibarat kata mungkin tes ya. Nah itu sampai terganggu. Mereka itu merasa terganggu banget, belajarnya gak iso.” ungkapnya setelah mendengar banyak unek-unek dari anaknya yang terusik dengan segala suara dari aktivitas alat berat di Sungai Progo. 

Tum sedang membasuh biji koro yang ia beli di toko (Skolastika Andika/Natas)

Suara bising yang melanda desa Wiyu yang terletak di bagian barat Sungai Progo itu, juga dirasakan oleh Tum. Seorang pembuat tempe koro yang tinggal bersebelahan dengan Yuliana. Rumahnya sedikit lebih dekat Sungai Progo. Ia mengaku tidak hanya bising yang didengar, tetapi juga bagaimana tambang mengubah hidupnya. 

Sebelum adanya alat berat itu, ia bekerja sebagai seorang pencari batu di Kali Progo. Ia harus meninggalkan pekerjaannya sekarang. Sebab, dirinya digantikan oleh alat asing, yang selama kedatangannya tidak pernah mengucap permisi. 

Sekarang ia harus tekun dengan lutut dilipat dan pantat yang tidak menjejak tanah. Tum harus membasuh biji-biji koro yang dibeli di toko. Bermodalkan dua puluh ribu rupiah, ia bisa membuat beberapa balok tempe koro. Tapi, beberapa tahun sebelumnya, ia tak perlu merogoh kocek untuk memenuhi modal pekerjaannya itu. Hanya turun beberapa langkah dari rumah, menyusuri bantaran sungai, dan mulai mencari batuan kali yang dapat dijual, ia sudah bisa menghidupi diri dan keluarganya.

Tanah yang Bergetar

Matahari tepat di atas kepala pada pertengahan bulan ketujuh. Wangi langu menguar dari dapur Tum yang terpisah dari rumahnya. Ia mulai menanggalkan kulit-kulit biji koro yang sudah dibasuh. Di dapurnya yang mungil, Tum mengerjakan pembuatan tempe koro itu seorang diri. Dengan rambut dicepol rendah dan tangan yang basah melepas kulit dari biji koro, ia sambil berkeluh kesah. 

Semenjak hadirnya alat berat di Sungai Progo, kerap kali dirasakan tanah yang dipijak bergetar. Sudah banyak lempengan tanah di sekitar rumah yang runtuh semenjak adanya tambang. Rasa takut dan cemas menghantui Tum. Rangkaian kronologi yang diciptakan tentang segala kemungkinan terkait tambang mulai hadir. Kronologi bagaimana rumahnya bisa hanyut terbawa arus sungai lah menjadi jalan cerita langganan yang bertengger di kepalanya. 

Cerita kronologi tersebut juga hadir dalam pikiran Subur. Rumahnya yang bertempat hanya sekitar sepuluh meter dari pinggir tebing sangatlah rentan runtuh. Dengan air muka yang cemas, ia berandai bagaimana nasib dari rumahnya yang dekat kali itu jika setiap hari tanah sebagai tumpuannya bisa sewaktu-waktu ambles terbawa kuatnya arus sungai. 

Batu bata merah dengan semen yang tak rata menjadi penyusun dari dinding rumah Subur. Genteng merah tua menjadi bubungan dibantu oleh bambu dan beberapa balok kayu. Dengan lantai bersemen dan sofa warna biru bergagang kayu yang warna pernisnya sudah mulai pudar, di sanalah Subur dan suaminya tinggal. Kandang ayam kecil dan kamar mandi beratap pendek menjadi bagian dari rumahnya yang terakhir sebelum akhirnya masuk ke kebun belakang. Tanah tersebut bahkan tidak layak menyandang nama “kebun”. Hanya dengan panjang tidak sampai dua puluh langkah, siapapun dapat meregang nyawa jika terus berjalan ke arah barat, di mana jurang menuju sungai terletak.

Suami dari Subur sedang melihat aktivitas penambangan di dekat rumahnya (Olivia/Rhetor)

Tanah yang bergetar setiap harinya karena aktivitas alat berat menjadi pemicu utama semakin hilangnya kebun belakang rumah Subur. Rumah yang berdomisili di Pundak Wetan itu merupakan rumah semata wayangnya Subur setelah sekian puluh tahun lahir dan tinggal di sana. Selayaknya warga yang mempertahankan haknya dan juga sebagai anak yang meneruskan tanah peninggalan orang tua, ia merasa sedih jika saban hari menonton pemandangan belakang rumahnya. 

“Padahal simbah punyanya hanya (rumah) ini, gak bisa pindah ke mana yang lebih aman atau berlindung di mana juga gak bisa toh yo.” ujar Subur dengan tatapan mata yang sayu dan alis mengerut.  

Ia merasa tidak bisa beristirahat dengan tenang saat malam mulai datang. Dengan ekonomi keluarga yang sangat pas-pasan dan umur yang sudah tidak belia, ia tidak tahu lagi harus menaruh di mana kecemasannya itu.

Namun, dari semua ketakutan yang dirasakan, ia memilih untuk tidak tinggal diam. Di kala umur yang sudah semakin termakan oleh waktu, ia memihak berada dipihak oposisi dari aktivitas alat berat. Ia tidak mau menjadi ibu rumah tangga yang hanya menunggu tanah kelahirannya hilang terbawa derasnya aliran sungai. Ia tidak ingin melihat anak cucunya merasakan pahitnya kehilangan tempat tinggal karena haknya dirampas oleh kegiatan ilegal di sungai dekat rumahnya. 

Dengan dada dibusungkan ke depan dan tangan yang mengepal, ia bersuara dengan lantang mengucapkan, “Pokok e nolak. Nah kulo tetep nolak. Maju! Menolak! Menolak! Menolak!” 

*Liputan ini adalah kolaborasi antara UKPM Natas, LPM Arena, BPPM Balairung, LPM Philosofis, BPMF Pijar, LPM Ekspresi, LPM Himmah, dan LPM Rethor dengan tujuan mengangkat pertambangan yang eksploitatif di Sungai Progo.

Penulis: Skolastika Andika Paramita Maheswari

Editor: Pradnya Nareswari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.