Warga Menuntut Ketegasan Dukuh Jomboran Akibat Adanya Aktivitas Pertambangan

Yogyakarta, natasmedia—Senin (30/11) sekitar pukul 13.00 WIB, warga Jomboran melakukan aksi di pinggir Sungai Progo. Mereka melakukan penolakan terhadap penambangan pasir skala besar yang dilakukan oleh perusahaan Surya Karya Setiabudi (SKS). Pasalnya, dua buah ekskavator sudah memasuki wilayah Jomboran dan mulai mengeruk bebatuan sungai. Padahal, warga Jomboran mengatakan bahwa belum ada sosialisasi antara warga dengan PT Surya Karya Setiabudi (SKS) selaku penambangan.

Pramudiya Afgani, selaku pemrakarsa penambangan, mengatakan bahwa sudah ada sosialisasi antara pihaknya dan beberapa perwakilan dari warga. Ia juga menambahkan bahwa Kepala Dukuh Jomboran, Sugyono, telah memberikan tanda tangan di dalam surat perizinan tambang. Dengan kata lain, Kepala Dukuh Jomboran telah memberi izin kepada Pramudiya Afgani untuk melakukan penambangan pasir di wilayah Padukuhan Jomboran.

Warga yang melakukan aksi penolakan tambang pasir kemudian meninggalkan lokasi dan pergi menuju rumah Kepala Dukuh Jomboran untuk mempertanyakan perihal tanda tangan tersebut. Sebelum meninggalkan tepi Sungai Progo, warga mendesak pemrakarsa untuk memindahkan kembali material batu-batuan kembali ke lokasi sebelum dikeruk.

Kepala Dukuh saat itu sedang membajak sawah ketika berhasil ditemui oleh warga. Salah seorang warga meminta Sugyono untuk menghentikan aktivitasnya sementara dan menemui warga Jomboran yang melakukan aksi penolakan. Setelah beberapa menit menunggu, Pak Sugyono menyanggupi untuk menemui warganya.

Sugyono, Kepala Dukuh Jomboran, saat ditemui warga Jomboran setelah aksi penolakan penambangan pasir (30/11/2020).

“Untuk wilayah kita memang belum ada sosialisasi. Makanya kami mempertanyakan atas dasar apa, bagaimana bisa eskavator masuk ke wilayah Jomboran,” ujar Iswarno, salah satu warga yang menolak pertambangan pasir. “Tadi kami sempat ditunjukkan dokumen izin oleh Pak Aga (Pramudiya Afgani) dan tanda tangan Pak Dukuh ada di situ”.

Namun, Sugyono mengatakan bahwa ia tidak pernah menandatangani surat izin penambangan. “Saya tidak pernah tanda tangan izin tambang. Saya tidak bilang ke Pak Aga untuk mengeruk wilayah Jomboran.” Ia kemudian melanjutkan, “yang saya tanda tangani itu kalimatnya kompensasi dampak.”

Selain mempertanyakan tanda tangan Sugyono, warga yang menolak penambangan juga menuntut ketegasannya selaku Kepala Dukuh untuk mengumpulkan seluruh warga guna membicarakan pertambangan tersebut.

“Sekarang kami minta ketegasan Bapak. Karena Bapak itu yang menjadi landasan Pak Aga melakukan penambangan di Jomboran,” desak warga. “Bapak seharusnya yang lebih memiliki kewenangan untuk mengumpulkan warga, bukan Pak Aga.”

Di tengah pembicaraan dengan Pak Dukuh, Sapoy, salah satu warga yang letak rumahnya hanya sekitar 20 meter dari pinggir Sungai Progo mengatakan bahwa warga menolak karena melihat dampak negatif lingkungan akibat penambangan. “Kita juga perlu menyatakan persepsi bahwa penolakan warga terhadap penambangan PT (penambangan dengan alat berat) ini bukan karena persaingan antara PT dan tambang tradisional. Melainkan karena dampak lingkungan. Ketika lingkungan itu rusak, itu sulit untuk diperbaiki,” ujar Sapoy.

Pertemuan antara warga yang melakukan aksi penolakan tambang dengan Kepala Dukuh juga dihadiri oleh segelintir warga yang menerima penambangan. Akibatnya, pertemuan dengan Kepala Dukuh ini juga diwarnai dengan perdebatan antara warga yang menerima dan menolak penambangan.

Meski demikian, warga Jomboran dan Kepala Dukuh menemui kesepakatan mengenai perlu diadakannya pertemuan antara warga dan Kepala Dukuh. Nantinya, kesimpulan yang akan diperoleh dari pertemuan tersebut akan disampaikan oleh Kepala Dukuh kepada pihak penambang.

Reporter: Vincentius Dandy dan Helena Winih

Penulis: Helena Winih

Editor : Veronica Septiana S

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.