Gua Maria Pohsarang Sebagai Tempat Peribadatan dan Wisata Religi di Kabupaten Kediri

Tampak Depan Bangunan Gua Maria Pohsarang. (Dok: Natas/Andreas Kurniawan) 

Gua Maria Pohsarang yang beralamat di Desa Pohsarang, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri diresmikan oleh Bupati Kabupaten Kediri Bapak Suparyadi, juga diberkati dan diresmikan untuk mengawali Yubileum tahun 2000 oleh Mgr. Johanes Hadiwikarta pada 26/12/1999.

Gua Maria Pohsarang yang memiliki nama lain Gua Maria Lourdes Pohsarang merupakan salah satu destinasi wisata religi favorit di daerah Jawa Timur maupun di luar daerah Jawa Timur. Dalam hal ini, Gua Maria Pohsarang memiliki daya tarik tersendiri untuk para wisatawan. Dengan gaya arsitektur yang klasik, yang menambah kesan bangunan yang autentik, membuat wisatawan kerap menjadikan spot untuk berfoto. Selain itu, suasana yang tenang dan rindang menambah rasa kenyamanan bagi para peziarah dalam berdoa.

Kawasan area jalan salib Golgota. (Dok: Natas/Andreas Kurniawan)

Gua Maria ini sudah dilengkapi dengan fasilitas yang mendukung untuk beribadah. Terdapat area Jalan Salib Bukit Golgota, Gereja Katolik Santa Maria Pohsarang, gedung serba guna kompleks ziarah Pohsarang, dan Pondok Rosario Nazareth untuk berdoa Rosario. “Kaitan secara tempat, ruang, dan prasarana sudah cukup dalam arti perkembangan fasilitas juga sesuai dengan kebutuhan. Saat ini kursi-kursi atau bangku yang disiapkan  oleh Paroki atau Gereja atau Keuskupan ini sudah cukup. Hanya saja pintu masuk dan keluar untuk  peziarah terdapat satu saja yang memudahkan pengawasan.” Ungkap Marselewa, yang merupakan pengunjung yang berasal dari Flores dan sekarang bertempat tinggal di Jakarta. Dengan kepopulerannya Gua Maria Pohsarang juga menjadi sebuah destinasi wisata religi yang wajib didatangi peziarah di antara Gua Maria lainnya di Pulau Jawa. Kelebihan yang dimiliki oleh Gua Maria Pohsarang adalah dalam hal landscape atau penataan ruang yang luas dan tertata rapi, seperti pada area berdoa dan area khusus pedagang yang dibedakan penempatannya.

Wisatawan yang datang bukan hanya umat beragama Katolik tetapi juga wisatawan yang beragama selain Katolik. Tentunya mereka mengunjungi Gua Maria Pohsarang dengan tujuan berwisata. Salah satunya adalah Mbah Jamprong yang berasal dari Kediri, “Ini baru pertama kali berkunjung kesini, dan ternyata cukup luas tempatnya” ujar Mbah Jamprong. Dari segi fasilitas yang ada, menurut Mbah Jamprong sudah cukup baik untuk saat ini. Pada saat berkunjung ke Gua Maria, Mbah Jamprong bersama rombongannya menggunakan moda transportasi kereta kelinci, yang selanjutnya rombongan tersebut akan melanjutkan menuju tempat wisata Gunung Klotok. Meskipun bersifat bebas kunjungan, para wisatawan juga harus bisa menjaga sikap pada saat berada di area Gua Maria Pohsarang karena pada dasarnya Gua Maria Pohsarang sebagai tempat berdoa umat Katolik.

“Kios Fajar” yang merupakan milik Ibu Fatimah salah satu penjual di Gua Maria Pohsarang (Dok: Natas/Andreas Kurniawan)

Banyaknya wisatawan menjadi harapan bagi pedagang di sekitar Gua Maria Pohsarang. Seperti yang dialami oleh pedagang aksesoris dan alat doa yaitu Fatimah. Awalnya beliau berjualan dengan cara ‘Ngasong’ atau menawarkan produknya langsung ke konsumen di depan Gereja. Kemudian, Gereja meminjamkan tempat untuk Ibu Fatimah berjualan. Selama berjualan, beliau menabung sedikit demi sedikit uang hasil dagangannya itu, untuk kontrak. Dan pada akhirnya beliau dapat membeli lahan untuk membuka kios yang diberi nama “Kios Fajar”.

Sebagian rosario yang beliau jual merupakan rosario buatan sendiri, namun ada yang membeli. Sedangkan untuk patung berasal dari pemasok yang datang. Fatimah juga menerima pesanan dari pembeli.

“Ramainya tidak seperti sebelum Corona. Dulu tanggal merah, hari minggu, kalau Gereja ada acara gitu bisa ramai. Tapi kalau sekarang mungkin karena ekonomi juga, ya ada banyak orang, tapi belum tentu beli.” Kata Fatimah.

Fatimah menyatakan bahwa dengan berjualan saja tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Omset dagangnya bergantung dari banyaknya pengunjung dan pembeli, apalagi karena acara gereja yang tidak pasti Mau tidak mau suami beliau mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurut Fatimah, pendapatannya pasti yaitu ketika Jum’at Legi, namun masih belum lama tradisi ini berlangsung.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Brigita, pemilik usaha keluarga yang menjual makanan ringan serta minuman. Hambatan yang beliau alami ketika dagangannya masih tersisa, seperti teh dan buah-buahan. Beliau mengaku pembelinya kadang ramai dan kadang tidak. Brigita berjualan setiap hari Minggu dan tanggal merah. Pendapatannya berkisar Rp 800.000,00 sampai Rp 1.000.000,00 setiap bulannya. Beliau mengatakan dengan omset penjualannya sudah mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Reporter: Andreas Kurniawan

Penulis: Patricia Michele Artavia F dan Andreas Kurniawan

Editor: Pradnya Nareswari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.