Bencana Ekonomi di Belakang Gerobak

natasmedia.com, Yogyakarta — Sejak awal pandemi Covid-19 menyebar ke seluruh sudut dunia, ahli-ahli ekonomi memperingatkan bahwa bencana paling buruk masih akan terjadi. Kekurangan makanan, resesi ekonomi, dan krisis sedunia. Namun bagaimana pada saat ini dengan ekonomi di Indonesia, persisnya di Yogyakarta?

Mengutip dari website resmi pemerintah Yogyakarta, bahwa ekonomi makro tetap akan tumbuh tahun depan dengan 4,2 sampai 6 persen. Namun bagaimana dengan ekonomi kecil dan para pedagang kaki lima di Yogyakarta yang setiap hari harus keluar rumah, mencari nafkah dan jualan seharian? Bagaimana situasi ekonomis mereka sejak Covid-19 menyebar di Indonesia?

Dari Work From Home sampai New Normal

Kebijakan Work from home tidak bisa dipukul rata bagi semua jenis profesi, apalagi pedagang kaki lima. Jika mereka ingin memenuhi kebutuhan mereka, mereka akan tetap perlu turun ke jalan dan menjual produk mereka. Dengan semua risiko kesehatan yang ada, penjualan tetap harus berlangsung demi mencari nafkah. Seperti yang diketahui bersama, hasil penjualan mereka turun sejak Covid-19 menyebar di Indonesia. Penjualan bahkan turun hingga kurang lebih 40-70% bagi para pedagang kaki lima di sekitar kampus 1 Universitas Sanata Dharma, daerah Mrican. Sejumlah PKL juga memutuskan berhenti menjual untuk sementara.

Pak Ahmad Fariri, berumur 43 tahun, adalah seorang penjual jus buah di daerah Mrican, Yogyakarta, tepatnya di depan pagar kampus 1 Sanata Dharma. Penjualan beliau menurun di antara angka 60-70%. Penjualannya sebelum virus Covid-19 merebak ke Yogyakarta dapat mencapai 500 ribu rupiah sehari, namun sekarang maksimal yang dihasilkan hanya berkisar 100 ribu rupiah. Ini biasanya hanya cukup untuk membeli bahan untuk jualan lagi di hari berikutnya.

Pak Fendi, penjual jagung cup di daerah yang sama, juga menyampaikan hal yang sama, tentang penurunan omzetnya. Omzet yang dahulu mencapai sampai 500 ribu rupiah setiap hari, sekarang paling banyak  200 ribu rupiah. Meskipun dia mengatakan bahwa itu tidak cukup untuk mengembalikan modalnya, dia menyatakan itu tetap lebih baik daripada nganggur saja di rumah. Walaupun pemerintah sudah memulai program adaptasi kebiasaan baru, para pedagang kaki lima belum berhasil meningkatkan jualan mereka. Keluhan mereka sama, pendapatan mereka kemungkinan bisa bertambah jika mahasiswa Sanata Dharma kembali berkuliah seperti biasa.

Dua orang pedagang kaki lima (PKL) di depan Universitas Sanata Dharma. Mereka berdua adalah PKL yang terdampak secara ekonomi setelah Covid-19 merebak di Yogyakarta. | dok. Vincentius Dandy/Natas

Adaptasi situasi baru

Bagaimana adaptasi PKL selama hasil penjualan drastis turun? Bagaimana tanggapan mereka terhadap tantangan ini? Dengan mudah dapat diamati bahwa sejumlah pedagang kecil yang semester kemarin masih ramai-ramai di depan pagar kampus sudah tidak ada lagi. Mereka yang bertahan pun mengalami kesusahan untuk meraup keuntungan.

“Bisa dapat makan aja Alhamdulillah,” ucap pak Fendi yang dapat mencerminkan situasi ekonomi sebagian besar pedagang kecil selama pandemi.

Bu Nadilah, penjual gorengan, juga mengeluh karena masalahnya bukan saja orderan yang menipis, namun harga bahan dasar gorengan di pasar juga ada yang naik. Maka Bu Nadilah menyiasatinya dengan Naik harga gorengan tidak bisa, maka beliau mengurangi pemakaian bahan-bahan dasar. Pak Endra Fitriyadi, penjual donat, mengatakan yang sama. “Kualitasnya tetap perlu diperhatikan juga.”

Mbah Sosro, ibu dari Bu Nadilah, menggoreng gorengan untuk kemudian dijual. Selama pandemi ini, pembeli gorengan semakin sedikit sedangkan harga bahan dasar gorengan di pasar semakin naik. | dok. Vincentius Dandy/Natas

Bantuan dari pemerintah sepertinya belum dirasakan oleh pedagang kaki lima. Tampaknya para pedagang kecil bingung atas yang ramai dibicarakan, termasuk syarat-syarat untuk mendapat bantuan tersebut.

PKL dan caranya menangani Covid-19

Aturan ketat seperti yang diterapkan di kawasan Malioboro tidak diberlakukan di sekitar kampus 1 Universitas Sanata Dharma. Sebagian besar penjual memilih memakai masker, juga rajin menggunakan hand sanitizer. Ketetapan penjual dengan protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah tampaknya tidak memengaruhi penjualan.

Banyak saran dari protokol kesehatan juga susah untuk dilaksanakan oleh pedagang kaki lima, seperti menjaga jarak, rajin cuci tangan dan hal-hal lainnya. Wabah yang sudah berlangsung cukup lama, membuat orang meremehkan kemungkinan mereka terinfeksi. Sebagian besar cukup tenang saat membahas tentang Covid-19. Meskipun daerah Mrican termasuk dalam zona merah, belum ada kasus sama sekali di antara para penjual. Mayoritas dari mereka tidak punya pilihan lain selain menjual.

Tidak ada jaminan bahwa pandemi virus corona ini akan segera berlalu dari muka bumi, sehingga masa depan pun masih suram bagi para pedagang kaki lima. Perkuliahan daring yang diterapkan sampai akhir tahun merupakan keresahan tersendiri bagi para pedagang kecil di sekitar kampus 1 Sanata Dharma. Jadi jika Anda kebetulan lewat di depan pagar kampus Sanata Dharma, sempatkanlah diri untuk mampir ke semua gerobak ada di sana. Dengan beberapa ribu rupiah dan sebuah senyum hangat saja, Anda sudah sangat membantu mereka yang sedang dalam keadaan paling susah.

Reporter: Vincentius Dandy dan Max Rooyackers

Penulis: Max Rooyackers

Editor: Louis King

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.