Shoplifters: Mencuri dan Mencari Ikatan

Judul: Shoplifters (Manbiki Kazoku)

Sutradara: Hirokazu Kore-eda

Tahun: 2018

Durasi: 121 Menit

Genre: Kriminal, Drama

Pemain: Lily Franky, Sakura Ando, Mayu Matsuoka, Kairi Jō, Miyu Sasaki, Kirin Kiki

“Apakah dengan melahirkan otomatis membuatmu menjadi seorang ibu?”
Kutipan pertanyaan dalam film ‘Shoplifters’.

Mendengar kata ‘keluarga’, kontemplasi yang lumrah akan ditujukan terhadap unit terkecil dalam masyarakat. Unit itu terdiri dari beberapa individu yang hidup saling ketergantungan dan tinggal dalam satu atap dengan perkawinan atau kelahiran sebagai penghubungnya.

Selaras pula dengan pengertian keluarga dari tokoh psikologi ternama, Sigmund Freud, yang memiliki anggapan bahwa pada dasarnya keluarga itu terbentuk karena adanya perkawinan pria dan wanita.

Namun, lain halnya dengan keluarga Shibata dalam film garapan Hirokazu Kore-eda berjudul Shoplifters atau dalam bahasa Jepangnya berjudul Manbiki Kazoku yang berarti “Keluarga Pengutil”. Alih-alih kekerabatan, Kore-eda justru memilih untuk menegasikan istilah “sedarah-sekandung” bagi sebuah keluarga dalam masterpiece-nya ini yang sukses menyabet Palme D’Or di gelaran Festival Film Canes pada 2018 silam.

Bermula di sebuah toko swalayan, Osamu Shibata (Lily Franky) tengah melancarkan aksi lihai mengutilnya yang kolaboratif dilakukan bersama anak lelakinya, Shota (Kairi Jō). Dengan mulusnya berbagai makanan, minuman, dan kebutuhan rumah tangga lain dapat dibawa lari tanpa tertangkap tangan.

Dalam perjalanan pulang mereka menjumpai Yuri (Miyu Sasaki), seorang gadis kecil yang menangis dan kelaparan di depan sebuah rumah. Karena iba, Osamu akhirnya ikut serta membawanya pulang untuk sekadar diberikan makanan.

Sebuah premis cerdas langsung datang menjemput kebimbangan penonton dengan terbaginya tokoh ke dalam dua perwatakan sekaligus, antagonis dan protagonis. Tercermin dari dua tindakan yang saling bertolak belakang.

Tampaknya Kore-eda ingin sedini mungkin memberikan gagasan dasar sebagai bekal menikmati filmnya, menyuguhkan dua sifat alamiah manusia yang bila diibaratkan seperti dua sisi mata uang.

Munculnya Yuri juga menjadi ‘kendaraan’ bagi penonton untuk mengenal keluarga Shibata. Setibanya di rumah, diperkenalkan beberapa anggota keluarga lain. Nobuyo Shibata (Sakura Ando) istri Osamu yang bekerja di sebuah tempat percucian baju, Aki (Mayu Matsuoka) adik perempuan Nobuyo yang bekerja sebagai wanita penghibur, dan nenek Hatsue (Kirin Kiki) yang menambah pemasukan lewat dana pensiunan mantan suaminya.

Realita Sosial dalam Sajian Visual

Kore-eda merupakan sineas terkemuka Negeri Sakura yang giat mengangkat isu sosial di Jepang dalam balutan drama bertema kekeluargaan di film-film besutannya. Sebut saja Maborosi (1995) yang menjadi debutnya, berhasil mencantumkan nama Kore-eda di kancah perfilman internasional sejak awal kiprahnya dengan memenangkan Golden Osella untuk sinematografi terbaik di Festival Film Venice 1995. Lalu Nobody Knows (2004), Still Walking (2008), Like Father, Like Son (2013), Our Little Sister (2015), After The Storm (2016), dsb.

Dalam Shoplifters, realita sosio-ekonomi di Jepang coba dikemas Kore-eda secara subtil yang tetap memancing rasa penasaran untuk melucuti identitas masing-masing tokoh.

Bagi seorang Nobuyo, kehadiran Yuri bukanlah sebuah persoalan besar jika saja keluarga miskinnya mempunyai tempat tinggal yang cukup lapang. Namun, keinginan Nobuyo untuk memulangkan Yuri memudar tepat di depan sebuah rumah tempat Yuri ditemukan sebelumnya.

Pertengakaran hebat kedua orang tua Yuri yang sampai ke telinganya mengundang firasat bahwa memulangkannya adalah suatu tindakan ceroboh, terlebih dengan didapatinya lebam pada tubuh gadis malang tersebut. Dari sini Yuri pun menjadi bagian baru di keluarga kecil Shibata.

Melansir The Japan Times, pada tahun yang sama dengan dirilisnya film Shoplifters sebuah survei oleh Badan Polisi Nasional di Jepang, menemukan setidaknya ada 80.104 anak di bawah usia 18 tahun dilaporkan ke pusat konsultasi anak oleh polisi atas dugaan kekerasan oleh orang tuanya atau orang lain. Angka ini naik 22,4 persen dari tahun sebelumnya 2017 yang menandai peningkatan kasus dalam 14 tahun berturut-turut.

Di antara kasus yang dilaporkan, 57.326 anak-anak menderita kekerasan psikologis dan 14.821 terkena penganiayaan fisik, sementara 7.699 anak-anak dilaporkan ditelantarkan dan 258 menderita pelecehan seksual.

Benar atau tidaknya pilihan keluarga Shibata yang urung mengembalikan Yuri adalah sebuah ironi yang dapat kita dikembalikan pada salah satu pertanyaan dalam adegan film.

Apakah dengan melahirkan otomatis membuatmu menjadi seorang ibu?

Tanpa mengesampingkan peran perempuan, tetapi lebih jauh lagi perkara terlantarnya seorang anak merupakan persoalan yang mengarah pada ketidakmatangan komitmen keluarga membangun hubungan.

Sehingga rasa-rasanya tindakan keluarga Shibata terhadap gadis kecil itu yang meski merupakan kejahatan di mata hukum adalah sebenar-benarnya keadilan dari kaca mata sang anak—untuk mendapatkan hak kasih sayang.

Individualisme dan Fenomena Muen Shakai di Jepang

Terdapat sebuah fenomena bernama Muen Shakai yang mengarah kepada orang Jepang yang terisolasi dari kehidupan sosial karena terputusnya relasi dengan orang terdekatnya. Muen Shakai dikenal luas melalui televisi nasional Jepang NHK (Nippon Hoso Kyokai).

Mulanya istilah tersebut dicetuskan oleh tim peliputan “Working Poor” televisi NHK di tahun 2009.  Liputan tersebut memperlihatkan keprihatinan tim peliput terhadap para pekerja miskin didasari oleh kenyataan tersisihnya mereka dari komunitas sekitarnya. Mereka memilih hidup sendiri terpisah dari komunitas asal maupun sekitarnya (Purnomo, 2014:3).

Fenomena ini tentu berkaitan erat dengan fenomena lainnya yang sedang mengalami tren peningkatan, yakni Kodukushi (meninggal dalam kesendirian) yang umumnya menimpa banyak lansia di Jepang.

Hidup dalam tekanan individulisme yang telah lama hadir pada masyarakat urban di Jepang, menghadiahkan pesan bagi para anggota keluarga Shibata: bahwa kemiskinan tidak sesakit hidup dalam kesepian.

Keluarga Shibata terbentuk menjadi semacam ruang bagi individu-individu yang terluka dan terkucilkan dari kehidupan sosialnya. Cukup miris memang, ketika malah kejahatan yang menghubungkan mereka. Pertalian darah bukanlah pemersatu, melainkan keinginan untuk hidup dalam hangatnya keluargalah yang menjadi benang pengikatnya.

Semua itu diolah dalam plot linear yang berpadu serasi mengikuti tensi cerita yang naik secara perlahan, seiringan pula dengan berbagai konflik yang muncul menghinggapi keluarga Shibata untuk bertahan hidup.

Akting menjiwai dari masing-masing tokoh dipermanis dengan dialog yang sederhana, tetapi cukup interaktif. Sehingga mengimbangi minimnya musik latar yang hanya muncul di sebagian kecil film dan pemilihan lokasi pengambilan gambar yang banyak di sudut-sudut pinggiran kota Tokyo yang sepi dan lengang.

Shoplifters menjadi salah satu karya terbaik Kore-eda dalam rekam jejaknya menapaki dunia perfilman, menjadikan film ini bukan hanya serta merta menjual kemiskinan untuk membeli air mata penonton. Banyak nilai dan pesan moral dari gelap dan terang kehidupan sebuah keluarga abnormal dalam kesempitan ekonomi ini yang dapat digali secara mendalam.

Penulis             : Fajar Waskito

Editor              : Louis IX King

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.