Sebuah Catatan Mengenai Kegilaan

Jaman’e jaman edan, yen ra edan ra keduman. (Jamannya jaman gila, kalau tidak gila, tidak kebagian)

 Kira-kira satu jam lamanya aku beribadah dan berusaha mencari Sang Ilahi. Satu jam itu saja sudah cukup membuat perutku keroncongan karena usaha pencarianku belum berbuah hasil yang memuaskan. Saking bingungnya mau makan apa, akhirnya aku dan ayahku sepakat untuk menyambangi penjual mie kuah di dekat rumah. Kebetulan malam itu sedikit dingin, dan kami pikir mie kuah adalah menu yang tepat untuk disantap.

Belum juga mi selesai dimasak, pandanganku tertuju pada seorang pemuda yang tidak kukenal. Ia berjongkok kebingungan. Kira-kira jaraknya 5 meter dari tempat ku duduk. Ah, jelas ini orang adalah orang gila! Bagaimana tidak, sekujur tubuhnya kotor, seperti tidak kenal dengan air dan sabun. Belum lagi baju dan celananya yang sobek di sana-sini. Bahkan kemaluannya yang “Dhewa”, alias Gedhe dan Dhawa terlihat.
Gerak-geriknya makin menguatkan dugaanku bahwa ia gila. Dikorek-koreknya sampah yang menumpuk di tepi jalanan. Tidak jelas apa yang berusaha ia peroleh. Bisa jadi makanan, rokok, korek api, atau bahkan obat untuk kegilaanya.
Aih, sayang sekali aku memilih untuk diam dan menunggu mi yang kupesan. Jadi aku tidak dapat berbincang-bincang dengannya. Boleh jadi keputusanku untuk duduk diam karena aku sulit berkomunikasi dengannya. Alasan lainnya? Boleh jadi aku takut bercakap-cakap dengan orang gila; takut menyinggung dan menyulut kegilaannya, juga takut ikut dicap sebagai orang gila!
Alhasil aku tidak mengetahui secara persis penyebab kegilaannya, sama seperti aku tidak mengetahui secara persis apa yang diinginkannya saat itu. Urusan mencari penyebab kegilaanya kutunda dulu sembari aku menyantap makan malamku.
Usai menyantap mi kuah, aku bergegas pulang ke rumah. Tujuan ku satu: searching di Google atau situs lainnya dengan kata kunci: penyebab kegilaan. Hasilnya sungguh mencengangkanku. Keuangan, kekuasaan, cinta, kelainan, dan demi pengakuan adalah salah lima dari sekian banyak penyebab kegilaan. Jelas perlu penelitian lebih lanjut untuk menguatkan diagnosa penyebab ini.
Sambil terus berselancar di dunia maya, tidak terasa aku sedikit terseret dalam pusaran informasi. Satu per satu informasi mengenai kegilaan muncul dan meresahkan pikiranku yang (semoga) masih waras. Contohnya, seorang gila lain yang nasibnya lebih beruntung dibanding pemuda yang kujumpai tadi.
Tidak hanya mujur, orang gila satu ini juga memiliki kuasa yang besar dalam mencitrakan bahwa dirinya waras, alias tidak gila. Beragam upaya dia lakukan, mulai dari pencitraan menggunakan media massa, hingga blusukan ke kampung-kampung.  
Blusukan sih blusukan, tapi kok tidak ada ya berita yang mengungkapkan kegiatanblusukan orgil (singkatan untuk orang gila ) ini di kampung yang saat ini dibenamkan oleh dinginnya lumpur. Yang lebih gila, orgil ini justru tampil innocent, sok polos, dan tanpa dosa saat mengumumkan dirinya maju dalam Pemilihan Perdana Menteri 2014 mendatang. Gila! Belum juga peradaban daerah yang terbenam ini dipulihkan, dengan PD-nya, orgil ini mengenakan jas putih-hitam, khas politikus, dan kemudian berkoar-koar. Berorasi.
Waduh.waduh. Bahaya ini,….
Ternyata wabah kegilaan gak cuma menyerang politikus metropolitan. Rakyat di Kerajaan Ngantah Berantah wajib waspada supaya tidak ikut-ikutan gila seperti rajanya. Entah apa sebab musababnya, Raja di kerajaan ini juga ikut-ikutan bertingkah gila. Gila uang dan gila pembangunan lebih tepatnya.
Atas nama kemajuan perekonomian dan pembangunan, langkah gila pun dilaksanakan. Ya, kusebut gila karena mengubur salah satu warisan sejarah Kerajaan Ngantah Berantah untuk membangun bangunan megah, modern pula. Kusebut gila karena menggadaikan ruang hidup rakyatnya nun jauh di pesisir Kerajaan pada kapitalisme pertambangan. Kusebut gila karena ia cenderung bertingkah sebagai antek-antek asing, ketimbang raja yang harus mewujudkan kemakmuran bagi rakyatnya.
Namun apa mau dikata, Raja ini gila! Di tengah mimpi terwujudnya swasembada dan kedaulatan pangan, Raja di Kerajaan Ngantah Berantah justru menanami tanah petani dengan pabrik; bukan dengan padi, kedelai, cabai, semangka, atau sayuran. Mungkin saking gilanya, raja ini kayak kuda lumping: sanggup makan logam mentah ketimbang hasil pertanian rakyatnya.
Duh dek, jangan-jangan justru jamannya yang gila. Kebanyakan pemimpin rakyat gila, segila-gilanya. Lantas bagaimana dengan nasib rakyat yang dipimpinnya? Kalau menurut Kang Qino sih, untuk menyembuhkan wabah kegilaan ya perlu pemimpin yang gila. Bukan pemimpin yang gila uang, gila kuasa, gila kenyamanan, atau gila hormat, melainkan pemimpin yang gila-gila transformatif. Mmm, pemimpin yang gila-gila transformatif contohnya saat dipenjara ia menyusun strategi pergerakan ditemani tumpukan buku-buku bukan membangun istana pribadi.
Namanya saja sebuah catatan mengenai kegilaan, maka wajar saja jika isinya seputar kegilaan yang telah dan tengah terjadi. Namun sebelum pembaca ikut-ikutan gila, sebaiknya catatan yang menutup tahun gila ini harus segera kuakhiri.
Dua Malam menjelang pergantian tahun gila,
Salam hangat, untuk tetap menjaga kewarasan.
Kang Qino

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.