Industri Rokok yang Tak Seputih Rokoknya

cover DVD Vanguard

Judul : Vanguard Sneak Peek: Sex, Lies, and Ciggarettes Eksekutif

Produser : Adam Yamaguchi Senior Executif

Produser : Jim Fraenkel Produser : Jeffrey Plunkett, Alex Simmons.

Koresponden : Christof Putzel.

Editor : Andrew Mcalister, Mike Shen, Alex Simmons

Produksi : Current TV

Film yang menyajikan fakta bahwa industri rokok tidaklah seputih rokok yang dihasilkannya. Film dokumenter yang dengan mudah bisa diakses via situs youtube ini dimulai dengan pernyataan, “Ini adalah cerita mengejutkan tentang bagaimana kemunduran rokok di Barat telah memberi dorongan kepada industri tembakau untuk memburu konsumen baru di negara-negara termiskin di dunia.” Ya, Vanguard Sneak Peek: Sex, Lies, and Ciggarettes menunjukan bagaimana industri rokok, khususnya yang dimiliki Philip Morris, menjadikan negara-negara berkembang sebagai pasar baru. Pilihan yang diambil demi, mengutip narasi film ini, “Menutup pendapatan yang hilang di Amerika dan Eropa.” Indonesia dipilih sebagai latar tempat film ini.

Pilihan yang sangat mungkin diambil sebab dari Indonesia-lah bayi perokok (yang sekaligus perokok termuda di dunia), Aldi Rizal, berasal. Mengiklankan rokok secara masif adalah cara yang dilakukan industri rokok untuk mendapatkan konsumen sebanyak-banyaknya. Banyaknya billboard rokok di jalanan Indonesia (dari kota besar hingga kota-kota di pelosok), beragamnya iklan rokok di stasiun-stasiun televisi, hingga infiltrasi perusahaan-perusahaan rokok dalam konser dan acara musik adalah buktinya. Christof Putzel. Koresponden film ini sampai menyatakan “bagi orang Barat seperti saya, melangkah turun dari pesawat terasa seperti mundur dalam waktu” sebagai respon atas banyaknya iklan rokok di Indonesia. Wajar. Sebab iklan rokok sulit dijumpai di negara-negara maju, macam Amerika dan negara-negara Eropa.

Di film ini, Putzel juga mewawancarai Masli, bekas pembuat iklan di perusahaan Philip Morris. Dari pengakuan Masli penonton bisa tahu bahwa kaum muda-lah yang jadi target utama iklan rokok. “Secara tidak resmi umur 14 tahun ke atas. Resminya 18 tahun ke atas,” demikian ia mengakui. Jika pengakuan Masli itu dikaitkan dengan fragmen-fragmen gambar anak (usia) sekolah yang begitu mudah membeli rokok lalu merokok serta gambar bayi perokok yang ada di film ini, maka industri rokok dapat dikatakan lebih dari berhasil dalam mencapai targetnya di Indonesia.

Memaparkan fakta-fakta di atas, film ini secara tidak langsung menyatakan bahwa industri rokok telah “berdosa” sebab meraup keuntungan dengan menafikan penyakit yang disebabkan oleh rokok. Ada 400.000 orang meninggal dalam setahun karena penyakit yang berhubungan dengan rokok, menurut film ini. Tak hanya itu. Industri rokok juga bisa dibilang jahat sebab isu rokok dekat dengan masalah ekonomi. Dua orang pengamen yang diwawancarai oleh Putzel mengaku menghabiskan $1 dari $3 yang mereka dapatkan per hari untuk membeli rokok.

Dalam film ini, aktivis yang aktif dalam mengkampanyekan anti rokok juga berbagi pengalaman pribadinya. Dikatakannya, sang ayah harus memilih antara meninggalkan rokok dengan menyekolahkannya. Pertanyaannya, apa yang membuat industri rokok bisa begitu bebas di Indonesia? Apa kabar peraturan terkait rokok di Indonesia? Dalam film ini, isu tentang peraturan juga disinggung. Disinyalir, sedikitnya peraturan pemerintah untuk industri tembakau menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar yang baik bagi perusahaan asing.

Dikeluarkannya pasal dalam Undang-Undang Kesehatan tahun 2009 yang melabeli nikotin sebagai obat adiktif sebelum ditandatangani oleh Presiden Indonesia juga disinggung. Bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang kondusif bagi industri rokok jelas disadari oleh mereka yang ada di industri rokok. Putzler yang berhasil mengendap ke dalam World Tobacco Asia Exhibition 2010 mendapatkan beberapa pernyataan yang sarat kesadaran akan hal itu. Misal, “Tidak ada satu pun peraturan. Pasar di sini adalah salah satu dari hanya sedikit pasaran di dunia yang berkembang untuk tembakau,” yang diungkapkan seorang pria dengan wajah disamarkan. Bahkan, dalam salah satu presentasi resmi di pameran itu, disampaikan bahwa Indonesia adalah tempat yang menyenangkan untuk menjadi eksekutif tembakau. Apalagi semenjak rokok mulai dipandang perempuan Asia (perempuan Indonesia jelas masuk dalam kategori ini) sebagai alat pelega.

Memang, rokok, sebagaimana diungkapkan oleh Warren Buffet, seorang investor Amerika, adalah produk yang sempurna. Ia dapat dibuat seharga 1 sen, dijual seharga satu dolar, dan menyebabkan ketagihan. Peliknya, tak mungkin membincangkan industri rokok tanpa menyajikan fakta bahwa industri ini memiliki andil dalam perekonomian negara. “Di Indonesia, industri tembakau mempekerjakan kira-kira 600.000 petani dan pekerja,” ujar Eva Sundari, anggota DPR yang jadi salah seorang narasumber di film ini. Lebih lagi pajak rokok juga memberi kira-kira tujuh milyar per tahun ke kas pemerintah. Sepatutnya teknik reportase, Putzel tidak hanya mengambil pendapat perwakilan dari mereka yang percaya ekonomi negara tergantung pada industri ini. Penonton juga dihadapkannya dengan pendapat dari Matthew Myers dari Campaign for Tobacco-Free Kids. Dalam pandangan Myers, Morris memang lihai dalam membuat negara-negara percaya bahwa ekonomi mereka tergantung pada tembakau. Negara-negara itu dibuat tak acuh dengan fakta bahwa milyaran dolar harus mereka keluarkan untuk biaya kesehatan. Itulah yang disampaikan oleh film ini.

Cukup tendensius. Apalagi saat membahas usaha industri rokok asing dalam menjadikan negara-negara berkembang sebagai target pasarnya. Secara garis besar, apa yang ditampilkan film ini sangat baik untuk dijadikan bahan refleksi bagi perokok. Mereka yang berusaha mengabaikan fakta bahwa rokok membahayakan kesehatan akan dibuat berpikir ulang setelah mendengar beberapa narasumber yang telah mengidap penyakit akibat merokok menyatakan penyesalannya. Bagi yang ideologis, tidakkah fakta bahwa dengan merokok mereka telah menyumbangkan uang bagi industri rokok asing yang “berdosa” akan membuat mereka berpikir untuk merokok? Meski begitu ada beberapa bagian terkait isu industri rokok yang kurang diulik film ini. Bagian pasal Undang-Undang Kesehatan tahun 2009 yang melabeli nikotin sebagai obat adiktif, misalnya, tidak terlalu mendalam dibahas.

Film ini juga tidak menampilkan beberapa orang yang memiliki otoritas terkait dengan kasus ini. Sebut saja, Menteri Kesehatan Indonesia yang tidak tampak dalam film ini. Padahal, mengingat isu rokok dekat dengan isu kesehatan, jelaslah pernyataannya penting. Pendapat orang-orang yang bekerja di tingkatan bawah hierarki industri rokok juga tidak ada dalam film ini. Jika orang-orang industri rokok yang berkerah putih mengatakan bahwa industri rokok itu menguntungkan, adakah demikian dengan mereka yang berkerah biru? Tidak juga penonton mendengar pendapat petani tembakau yang konon bergantung pada industri rokok ini. Sebab, tentu akan sangat menarik jika ada konfirmasi dari orang-orang yang menurut orang lain “tergantung pada industri rokok” ini. Benar tidak mereka sebegitu tergantungnya dengan industri ini? Apa pendapat mereka tentang industri yang mengaku memberi mereka kehidupan itu? Padahal, jika memang film ini ingin menunjukan kejelekan industri rokok, mungkin saja, dari pengakuan orang-orang itu daftar aib industri rokok bisa bertambah panjang. Daftar aib yang semakin panjang potensial meyakinkan orang berhenti merokok. Bukan begitu? *** (Sita Magfira)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.